Syafii Maarif Mulai Hidup di Jogja



Pagi itu, angin sepoi-sepoi menghembuskan aroma tanah basah di halaman Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. 

Ahmad Syafii Maarif, seorang siswa dari Sumpur Kudus, Sumatera Barat, duduk di bawah pohon rindang dengan buku kecil di tangannya. 

Sorot matanya tajam, menyiratkan semangat seorang pemuda yang ingin mengubah nasib, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masyarakat di sekitarnya.

Di Yogyakarta, Syafii menemukan dunia baru yang penuh dengan tantangan. 

Ia belajar dengan giat, menyerap ilmu dari guru-gurunya yang mendalam dalam ilmu agama dan wawasan kebangsaan. 

Setiap malam, ia menghabiskan waktu di kamar asrama, membaca buku sambil menyalakan lampu kecil yang hampir padam.

“Syafii, apa kau tak lelah belajar terus-menerus?” tanya Yusuf, teman sekamarnya.

Syafii tersenyum tipis, lalu menjawab, “Ilmu adalah pelita, Yusuf. Kalau kita ingin menerangi jalan, kita harus terus menyalakan pelita itu, meski minyaknya hampir habis.”

Di madrasah, Syafii bukan hanya dikenal sebagai siswa yang rajin, tetapi juga seorang pemimpin yang pandai memotivasi teman-temannya. 

Ia sering berdiskusi dengan para guru tentang pentingnya pendidikan Islam yang mendorong inklusivitas dan kemajuan. 

Di sela-sela pelajaran, ia aktif dalam kegiatan Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah yang melatih kedisiplinan dan kepemimpinan.

Suatu hari, kepala madrasah memanggilnya ke ruang kantor. Dengan senyum penuh arti, sang kepala madrasah berkata, “Syafii, setelah lulus nanti, kami ingin memberimu tugas khusus. Kamu akan dikirim ke Lombok untuk mengajar di sana.”

Syafii terdiam sejenak, mencerna kabar itu. Lombok adalah pulau yang jauh, asing baginya. 

Tapi ia tahu, ini adalah kesempatan untuk mengamalkan ilmu yang telah ia pelajari. Dengan nada penuh keyakinan, ia menjawab, 

“Insya Allah, saya siap.”


---

Pengabdian di Lombok

Tahun 1956, setelah menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta, Syafii berangkat ke Lombok. 

Perjalanan itu panjang dan melelahkan, melewati laut dan daratan yang ia tak kenal sebelumnya. 

Ketika tiba di sana, ia disambut dengan keramahan masyarakat setempat, tetapi fasilitas pendidikan yang ada sangat terbatas.

Sekolah Muhammadiyah tempat ia mengajar hanya memiliki beberapa ruang kelas sederhana dengan dinding bambu. 

Murid-muridnya kebanyakan berasal dari keluarga petani yang tidak mampu, tetapi semangat mereka untuk belajar begitu besar.

“Bapak, apakah saya bisa menjadi orang pintar seperti Bapak?” tanya seorang murid kecil suatu hari.

Syafii tersenyum, lalu menjawab, “Tentu saja bisa. Ilmu itu untuk semua orang, asal kamu rajin belajar dan tidak takut mencoba.”

Di Lombok, Syafii tidak hanya menjadi guru, tetapi juga seorang motivator. Ia mengajarkan bukan hanya pelajaran agama dan membaca Al-Qur'an, tetapi juga keterampilan dasar dan wawasan tentang dunia luar. 

Ia sering mengunjungi keluarga muridnya, berbicara dengan orang tua mereka, meyakinkan mereka bahwa pendidikan adalah jalan untuk masa depan yang lebih baik.

Malam-malamnya dihabiskan dengan menulis catatan tentang pengalaman mengajarnya, sambil memikirkan bagaimana ia bisa memberikan lebih banyak manfaat bagi masyarakat.

---

Kembali dengan Semangat Baru

Setahun kemudian, setelah menyelesaikan tugasnya di Lombok, Syafii kembali ke Yogyakarta. 

Pengalaman mengajar di Lombok memberinya pelajaran yang sangat berharga. Ia menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyampaikan ilmu, tetapi juga menyentuh hati dan menggerakkan semangat orang-orang yang diajarinya.

Di surau kecil tempat ia bermalam sebelum kembali ke Yogyakarta, ia berdoa, “Ya Allah, jadikan ilmu ini berkah, bukan hanya untukku, tetapi untuk seluruh umat manusia.”

Pengalaman itu menjadi bagian dari perjalanan panjang Syafii Maarif menuju seorang cendekiawan besar. 

Ia membawa semangat pendidikan dan keadilan sosial dalam setiap langkah hidupnya, dengan keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya yang harus terus dinyalakan, ke mana pun ia pergi. ***

*ini adalah karya fiksi berbasis interpretasi sejarah dari kisah hidup Ahmad Syafii Maarif.

Post a Comment for "Syafii Maarif Mulai Hidup di Jogja"