Ahmad Dahlan, Sukarno, dan Muhammadiyah, Jejak Islam Progresif dalam Sejarah Bangsa


Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, tidak hanya dikenal sebagai tokoh pembaru Islam, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap tokoh pergerakan nasional, termasuk Sukarno. 

Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 dengan tujuan memurnikan ajaran Islam dan memajukan umat melalui pendidikan modern. 

Pemikiran ini menjadi pondasi bagi gerakan Islam progresif di Indonesia.

Sukarno, yang dikenal sebagai presiden pertama Indonesia, mulai mengenal Muhammadiyah saat tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya pada tahun 1916. 

Ahmad Dahlan sering mengunjungi rumah tersebut untuk memberikan pengajian. 

Sukarno muda yang haus akan pengetahuan terinspirasi oleh pemikiran Ahmad Dahlan tentang Islam yang rasional dan terbuka terhadap perubahan zaman.

Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa masa mudanya diwarnai oleh pengaruh tokoh besar Islam, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. 

Interaksi keduanya terjadi di Surabaya, di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, tempat Sukarno tinggal dan belajar.

Pada tahun 1916, Sukarno muda, yang saat itu masih remaja, tinggal di rumah Tjokroaminoto, seorang tokoh Sarekat Islam dan mentor bagi banyak pemuda pergerakan nasional. 

Rumah tersebut menjadi pusat diskusi intelektual yang kerap dikunjungi oleh Ahmad Dahlan. Dalam kunjungan-kunjungannya, Ahmad Dahlan memberikan pengajian dan berdiskusi tentang Islam progresif, pembaruan, dan pentingnya pendidikan modern. 

Sukarno yang haus akan pengetahuan, dengan tekun menyerap gagasan tersebut.

Ahmad Dahlan memperkenalkan Islam sebagai agama yang rasional, terbuka, dan relevan dengan perkembangan zaman. 

Pemikirannya tentang modernisasi Islam, pemberdayaan umat melalui pendidikan, serta pentingnya menjadikan agama sebagai landasan moral perjuangan, meninggalkan kesan mendalam pada Sukarno. 

Gagasan-gagasan inilah yang kemudian menjadi salah satu fondasi pandangan Sukarno tentang peran agama dalam membangun bangsa.

Meski tidak banyak dokumentasi resmi tentang percakapan langsung keduanya, narasi sejarah menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan memberikan pengaruh signifikan pada generasi muda pergerakan nasional, termasuk Sukarno. 

Hubungan intelektual ini menjadi salah satu bukti bagaimana Muhammadiyah, melalui Ahmad Dahlan, turut berkontribusi dalam membentuk karakter pemimpin bangsa.

Jejak interaksi Ahmad Dahlan dan Sukarno di Surabaya mencerminkan sinergi antara Islam progresif dan semangat nasionalisme. 

Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan, ideologi, dan semangat kebangsaan dalam mempersiapkan pemimpin masa depan.

Keterlibatan Sukarno dalam Muhammadiyah semakin mendalam ketika ia diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938. 

Di sana, ia aktif sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah dan terlibat dalam kegiatan pendidikan organisasi tersebut. 

Bahkan, Sukarno bertemu Fatmawati, putri tokoh Muhammadiyah Hassan Din, yang kelak menjadi istrinya.

Sukarno mengakui bahwa pemikiran Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah memengaruhi pandangannya tentang Islam dan kebangsaan. 

Pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962, ia menyatakan kebanggaannya menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1938. 

Sukarno juga pernah menyampaikan keinginan untuk dikenang sebagai kader Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.

Hubungan antara Ahmad Dahlan, Sukarno, dan Muhammadiyah mencerminkan sinergi antara gerakan Islam dan nasionalisme dalam perjuangan membangun Indonesia. 

Pemikiran Ahmad Dahlan tidak hanya membentuk Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern, tetapi juga menginspirasi generasi pemimpin bangsa, termasuk Sukarno, untuk memperjuangkan kemerdekaan dengan landasan moral yang kokoh.

📝 RD

Post a Comment for "Ahmad Dahlan, Sukarno, dan Muhammadiyah, Jejak Islam Progresif dalam Sejarah Bangsa"