Jejak Sejarah Gedoeng Moehammadijah Yogyakarta yang Ikonik



Gedoeng Moehammadijah adalah salah satu ikon sejarah Muhammadiyah yang berdiri kokoh di jantung Kota Yogyakarta. 

Gedung ini mencerminkan dinamika perkembangan Muhammadiyah, dari masa kolonial hingga era kemerdekaan, serta komitmennya dalam menjaga nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan pendidikan modern.

Artikel ini akan membawa Anda menelusuri sejarah pendirian, kiprah Muhammadiyah di masa itu, kepemimpinan nasional yang melatarbelakangi, hingga pengakuan Gedong Moehammadijah sebagai cagar budaya resmi Kota Yogyakarta dan fungsinya hari ini.

Gedong Moehammadijah dibangun pada tahun 1940–1941, pada masa ketika Muhammadiyah memasuki babak baru ekspansi nasional. 

Saat itu, organisasi ini membutuhkan kantor pusat yang lebih luas dan representatif. Kantor lama yang terletak di Kauman tak lagi mencukupi untuk menampung kebutuhan aktivitas pimpinan pusat Muhammadiyah yang kian kompleks.

Akhirnya, dipilihlah lokasi strategis di Jalan KH Ahmad Dahlan, yang kala itu masih dikenal sebagai kawasan elite pusat Yogyakarta. 

Gedung ini mulai dioperasikan secara resmi sebagai Kantor Pusat Muhammadiyah pada tahun 1942, bertepatan dengan masa penjajahan Jepang yang mulai masuk ke Indonesia.

Periode 1940-an adalah masa penuh tekanan dan perubahan bagi bangsa Indonesia. Di tengah transisi kekuasaan dari pemerintah Hindia Belanda ke Jepang, Muhammadiyah tetap konsisten mengembangkan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial. 

Meski menghadapi pembatasan gerak oleh pemerintah kolonial, Muhammadiyah tetap berusaha tampil sebagai organisasi modern yang fokus pada penguatan akar umat.

Gerakan Muhammadiyah pada saat itu ditandai dengan:

  • Pengembangan pendidikan Islam modern melalui sekolah-sekolah dan madrasah.
  • Pelayanan sosial seperti pendirian rumah sakit dan panti asuhan.
  • Peneguhan prinsip amar makruf nahi munkar tanpa terjebak dalam politik praktis.
Penting dicatat, Muhammadiyah mengambil sikap kehati-hatian terhadap politik kolonial, namun pada saat yang sama berkontribusi aktif dalam membangun fondasi kebangsaan.

Gedoeng Moehammadijah mulai digunakan saat Ki Bagus Hadikusumo menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1942–1953), menggantikan KH Mas Mansur.

Ki Bagus dikenal sebagai pemimpin tegas dan nasionalis. Ia menolak keras berbagai kebijakan Jepang yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti penghormatan kepada Dewa Matahari. 

Lebih jauh, Ki Bagus juga menjadi anggota BPUPKI dan berperan penting dalam perumusan Mukadimah UUD 1945, mencerminkan integrasi nilai Islam dalam dasar negara Indonesia.

Sebelum Ki Bagus, masa kepemimpinan KH Mas Mansur (1937–1942) turut meletakkan fondasi reformasi organisasi melalui dokumen terkenal "12 Langkah Muhammadiyah"

Dokumen ini menjadi acuan transformasi organisasi ke arah demokratisasi internal, pembinaan kader, dan penguatan struktur kelembagaan Muhammadiyah.

Di bawah dua tokoh besar ini, Gedong Moehammadijah tak hanya menjadi kantor administratif, tapi juga pusat pengambilan keputusan penting Muhammadiyah dalam skala nasional.

Pada 28 November 2009, Gedoeng Moehammadijah resmi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya Kota Yogyakarta melalui SK Wali Kota Yogyakarta No. 798/KEP/2009

Penetapan ini menegaskan pentingnya gedung ini dalam lanskap sejarah dan kebudayaan Indonesia, khususnya dalam gerakan Islam modern dan perjuangan bangsa.

Sebagai bangunan cagar budaya, pelestarian Gedoeng Moehammadijah kini berada di bawah pengawasan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta dan didukung oleh berbagai pihak termasuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sejak awal, Gedoeng Moehammadijah difungsikan sebagai kantor pusat administratif Muhammadiyah, tempat para pimpinan menyusun program kerja, strategi dakwah, dan keputusan penting organisasi. 

Gedung ini juga menjadi simbol kemandirian dan modernitas organisasi Islam yang mampu berdiri sejajar dengan institusi formal di tengah tekanan kolonial.

Kini, Gedoeng Moehammadijah masih aktif digunakan, terutama untuk kantor berbagai majelis dan lembaga di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Gedung ini juga menjadi:

  • Pusat edukasi sejarah Muhammadiyah melalui kunjungan kader dan pelajar.
  • Tempat diskusi dan pelatihan internal.
  • Obyek wisata sejarah religi yang menarik bagi publik.

Arsitektur & Upaya Pelestarian

Gedung ini dibangun dengan gaya arsitektur kolonial Indis berpadu sentuhan tradisional Jawa. Ciri khasnya tampak pada atap limasan, pilar tinggi, serta jendela besar yang memungkinkan sirkulasi udara alami—cerminan konsep tropis yang ramah lingkungan.

Restorasi dilakukan secara selektif, hanya pada bagian belakang atau interior, sementara bagian fasad depan dipertahankan orisinal. Langkah ini merupakan bentuk nyata dari komitmen Muhammadiyah dalam menjaga warisan sejarah sambil memenuhi kebutuhan organisasi modern.

Ingin mengunjungi Gedong Moehammadijah?
📍 Alamat: Jl. KH Ahmad Dahlan No.103, Ngampilan, Kota Yogyakarta
🕰️ Jam kunjungan: Senin–Jumat, pukul 08.00–15.00 (tergantung kegiatan internal)
📷 Tip wisata: Bawa kamera, hormati aktivitas kantor, dan jangan lewatkan fasad depan yang ikonik untuk foto heritage!

Gedong Moehammadijah adalah bukti bahwa dakwah, pendidikan, dan budaya dapat berjalan beriringan dalam satu ruang sejarah yang abadi.


Post a Comment for "Jejak Sejarah Gedoeng Moehammadijah Yogyakarta yang Ikonik"