Kisah Cinta Anak Keluarga Muhammadiyah dan NU | Novel Kambing dan Hujan
Perjalanan Cinta Mif dan Faiz, Rekonsiliasi Dua Tradisi yang Berbeda
Kisah cinta Miftahul Abrar (Mif) dan Nurul Fauzia (Faiz) menjadi sorotan karena perjuangan mereka menghadapi perbedaan tradisi yang selama ini memisahkan dua keluarga besar, yakni dari latar belakang Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Cinta mereka bukan sekadar soal hubungan dua insan, tetapi simbol rekonsiliasi dua ideologi yang kerap dipandang sulit untuk dipertemukan.
Awal Kisah, Cinta Tumbuh di Tengah Perbedaan
Mif dan Faiz pertama kali bertemu saat menjadi panitia dalam sebuah acara desa yang mempertemukan pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang.
Percakapan awal mereka sederhana, namun cukup untuk memunculkan benih-benih cinta.
Dalam waktu singkat, mereka semakin dekat, saling berbagi pandangan tentang kehidupan, mimpi, dan bahkan perbedaan keluarga mereka.
Namun, cinta mereka tidak lepas dari tantangan. Keluarga Mif adalah penganut tradisi NU yang kuat, dengan tata cara ibadah yang dijaga turun-temurun.
Sementara keluarga Faiz berasal dari Muhammadiyah, yang memiliki pendekatan keagamaan yang lebih modern.
Perbedaan ini sudah menjadi sumber perselisihan selama bertahun-tahun, bahkan sebelum mereka lahir.
Konflik yang Membayangi Cinta
Ketika hubungan Mif dan Faiz diketahui oleh keluarga masing-masing, reaksi yang muncul bukanlah dukungan, melainkan penolakan.
Berikut adalah beberapa contoh konflik yang mereka hadapi:
1. Perbedaan dalam Tradisi Keagamaan
Keluarga Mif menilai keluarga Faiz terlalu "kaku" dalam menjalankan ajaran agama, terutama karena mereka tidak menjalankan tradisi tahlilan atau selamatan, yang bagi keluarga NU dianggap sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur.
Sebaliknya, keluarga Faiz merasa tradisi tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat Islam.
Mif pernah menyaksikan ibunya mengeluhkan bahwa keluarga Faiz “tidak tahu adat,” sementara Faiz sering mendengar ayahnya menyebut tradisi NU sebagai "bid’ah" (inovasi agama yang tidak sesuai syariat).
Ketegangan ini kerap muncul dalam percakapan keluarga mereka.
2. Perselisihan dalam Pengelolaan Masjid
Konflik lain muncul terkait pengelolaan masjid di desa mereka.
Masjid tersebut sebelumnya dikelola oleh pihak NU, tetapi keluarga Muhammadiyah merasa perlu mengubah beberapa tradisi, seperti gaya azan dan tata cara shalat berjemaah.
Perbedaan ini menjadi ajang persaingan yang memengaruhi hubungan keluarga Mif dan Faiz.
3. Penolakan Langsung terhadap Hubungan Mereka
Ketika Mif akhirnya meminta izin kepada ayahnya untuk menjalin hubungan serius dengan Faiz, tanggapannya sangat negatif.
Ayahnya berkata, “Tidak ada tempat di rumah ini untuk orang yang tidak menghormati tradisi.”
Faiz menghadapi tekanan serupa. Ibunya memintanya untuk mencari pasangan yang “sepaham,” demi menjaga keharmonisan keluarga.
Usaha untuk Menyatukan Perbedaan
Mif dan Faiz tidak menyerah begitu saja. Mereka mencoba berbagai cara untuk menyatukan keluarga mereka:
1. Dialog dan Diplomasi
Mif sering mendekati ayah Faiz untuk berbicara tentang perbedaan mereka, berusaha meyakinkan bahwa cinta mereka adalah bentuk usaha generasi muda untuk menyatukan yang terpisah.
Faiz melakukan hal yang sama dengan keluarga Mif. Namun, usaha ini tidak langsung membuahkan hasil.
2. Menghadapi Kritik dengan Sabar
Mif dan Faiz sering menjadi bahan pembicaraan di desa, terutama oleh masyarakat yang memandang hubungan mereka sebagai hal yang “mustahil.”
Namun, mereka memilih untuk tidak mempermasalahkan komentar-komentar tersebut, fokus pada tujuan mereka untuk bersatu.
3. Melibatkan Tokoh Desa
Dalam upaya terakhir, Mif dan Faiz meminta bantuan tokoh masyarakat yang dihormati di desa, seseorang yang netral antara NU dan Muhammadiyah.
Tokoh tersebut membantu mendamaikan kedua keluarga, mengingatkan mereka bahwa Islam pada dasarnya mengajarkan persatuan, bukan perpecahan.
Akhir Bahagia, Pernikahan yang Mendamaikan
Setelah melalui perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, Mif dan Faiz akhirnya berhasil mendapatkan restu dari kedua keluarga.
Pernikahan mereka menjadi simbol persatuan dua tradisi besar. Acara tersebut diadakan di masjid desa dengan tata cara yang menggabungkan elemen dari NU dan Muhammadiyah, menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk hidup harmonis.
Kedua keluarga hadir dengan senyum, menyadari bahwa cinta sejati mampu melampaui ego dan prasangka.
Masyarakat desa, yang sebelumnya memandang hubungan mereka skeptis, turut merasakan kehangatan acara tersebut.
Beberapa bahkan menyebut pernikahan Mif dan Faiz sebagai "awal baru" untuk hubungan yang lebih baik antara dua kelompok ideologi di desa itu.
***
"Kambing dan Hujan" adalah novel karya Mahfud Ikhwan, seorang penulis Indonesia yang dikenal dengan gaya tulisannya yang kritis dan humoris.
Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2015 oleh Penerbit Bentang Pustaka.
Karya ini meraih penghargaan sebagai pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014, yang menunjukkan kualitas sastra dan relevansinya dengan isu-isu sosial di Indonesia.
Dengan latar pedesaan yang kuat, novel ini mengeksplorasi tema tentang perbedaan ideologi agama di masyarakat Indonesia, seperti perbedaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang sering menjadi sumber konflik.
"Kambing dan Hujan" mendapatkan apresiasi luas karena berhasil menyampaikan pesan toleransi dan rekonsiliasi dengan cara yang santai, dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi tetap bermakna mendalam.
Novel ini sering disebut sebagai salah satu karya sastra modern Indonesia yang penting. []
Post a Comment for "Kisah Cinta Anak Keluarga Muhammadiyah dan NU | Novel Kambing dan Hujan"
Post a Comment
Mau berkomentar? Jangan sungkan-sungkan, tulis di bawah ini