Masa Kecil Syafii Maarif, Anak Surau dari Sumpur Kudus


Di sebuah desa kecil bernama Nagari Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat, langit pagi berselimut kabut tipis. 

Di tengah suasana yang sunyi, lahirlah seorang anak lelaki pada tanggal 31 Mei 1935. 

Bayi itu diberi nama Ahmad Syafii Maarif, anak bungsu dari empat bersaudara. 

Kehadirannya di dunia membawa kebahagiaan, meski kehidupan segera menantang dengan ujian yang berat.

Saat usianya belum genap dua tahun, ibunya, Fathiyah, meninggal dunia. 

Kehilangan ini menjadi luka mendalam bagi keluarga kecil itu. 

Syafii yang masih bayi diasuh oleh bibinya, Bainah, seorang wanita bijak yang penuh kasih sayang. 

Ayahnya, Ma'rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, seorang kepala suku dan saudagar sederhana, berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga sambil mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai adat dan agama.

Di tengah kesederhanaan itu, Syafii kecil mulai mengenal dunia. Desa tempat tinggalnya dikelilingi hamparan sawah dan bukit hijau, tetapi keterbatasan fasilitas pendidikan tak menyurutkan tekad ayahnya untuk menyekolahkan anak-anaknya. 

"Ilmu itu cahaya, Nak," kata sang ayah suatu hari, "tanpa ilmu, kita tak akan mampu melihat jalan yang benar."

Syafii memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus. 

Kecerdasan dan rasa ingin tahunya sudah terlihat sejak awal. Ia sering menghabiskan waktu di surau bersama teman-temannya. 

Di sana, ia belajar mengaji Al-Qur'an dan mendengarkan kisah-kisah para nabi dari para ulama. Surau itu menjadi tempat ia pertama kali memahami arti hidup sederhana, kerja keras, dan kedisiplinan.

Setelah lulus dari SR dalam waktu lima tahun—lebih cepat dari kebanyakan anak lain—Syafii melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di desanya. 

Madrasah ini memberikan pijakan yang kuat bagi pemahaman agamanya. 

Guru-gurunya tidak hanya mengajarkan membaca kitab, tetapi juga menanamkan nilai kejujuran dan keberanian untuk berpikir kritis.

Namun, tidak mudah menjadi anak bungsu tanpa ibu. Di usia yang masih muda, Syafii sering membantu keluarganya di ladang. 

Saat teman-temannya bermain, ia sibuk memikul beban kayu bakar atau membawa hasil panen ke pasar kecil di desa. Tetapi, ia tak pernah mengeluh. 

Baginya, kerja keras adalah bagian dari hidup yang harus diterima dengan ikhlas.

Pada tahun 1950, jalan hidupnya mulai berubah, dengan tekad besar, ia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balai Tangah, Lintau. 

Perjalanan menuju madrasah itu tidak mudah. Syafii harus menempuh perjalanan jauh dari desanya, terkadang berjalan kaki melewati hutan dan bukit. 

Meski begitu, semangatnya untuk menuntut ilmu tidak pernah surut.

Di madrasah itu, Syafii mulai menunjukkan bakatnya sebagai seorang pemimpin. Ia sering terlibat dalam diskusi keagamaan dengan teman-temannya. 

Cara bicaranya yang lugas dan pemikirannya yang dalam membuatnya dihormati, meski ia masih seorang remaja.

Pada tahun 1953, Syafii memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. 

Keputusan ini diambil dengan keberanian besar. 

"Kamu merantau demi ilmu, Syafii," kata bibinya saat melepas kepergiannya. 

"Jangan lupa asal usulmu, dan tetaplah menjadi anak surau yang rendah hati."

Saat ia berdiri di depan pintu rumahnya, memandang kampung halamannya untuk terakhir kali sebelum pergi, Syafii mengucapkan doa dalam hati. 

Ia tahu bahwa perjalanan panjang menantinya di tanah rantau, tetapi ia juga tahu bahwa surau, keluarga, dan desanya akan selalu menjadi bagian dari dirinya.

Dengan tas kecil di pundaknya, Ahmad Syafii Maarif berangkat menuju Yogyakarta. 

Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan seorang anak desa yang membawa harapan besar untuk mengubah dunia. ***

*ini adalah karya fiksi berbasis interpretasi sejarah dari kisah hidup Ahmad Syafii Maarif.

Post a Comment for "Masa Kecil Syafii Maarif, Anak Surau dari Sumpur Kudus"